Powered By Blogger

Minggu, 14 Juli 2013

Menunggu Bung Karno? Bag-1


Oleh Hernowo


Mengapa menunggu Bung Karno?

Pertama, Orde Baru pernah berusaha menghapus kenangan satu bangsa terhadap Soekarno (1967-1977).Kedua, sistem kepartaian saat ini menjadi sistem organisasi yang semata-mata mengejar kepentingan diri sendiri, serta DPR tak lagi mewakili rakyatnya namun tetap bising dalam riuh-rendah politik kepentingan dan mengumbar nafsu korupsi. Ketiga, Pancasila (yang digali dan ditemukan Soekarno) hanya berada di angan-angan sementara masyarakat yang berbineka tunggal ika ini seperti gampang tercabik-cabik ketika perbedaan pendapat hadir di dalamnya serta ketika toleransi hanya menjadi basa-basi.”

Itulah tiga alasan kenapa Bung Karno perlu kupahami (kuhidupkan)- kembali (di dalam diriku) pada saat ini. Tiga alasan (khususnya alasan pertama dan kedua) kuperoleh dari edisi khusus Prisma Volume 32, No. 2 dan No. 3, 2013, yang berjudul Soekarno: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar. Edisi Prisma kali ini terasa sangat istimewa karena memberikan wawasan kepadaku tentang Soekarno yang komplet sebagai intelektual, nasionalis, liberator, dan proklamator. Aku tak memungkiri bahwa Soekarno juga memiliki beberapa kekurangan dan sempat menjadi sosok yang penuh kontroversi. Namun, kali ini aku ingin menyingkirkan sisi kontroversialnya dan mencoba menyerap peran dan jasanya dalam membangun negara Indonesia.

Aku lahir ketika Soekarno sudah berusia seumurku saat tulisan ini kubuat. Soekarno wafat pada usia 69 tahun, ketika usiaku waktu itu baru 13 tahun. Kenanganku akan Soekarno sangat sedikit—atau mungkin, bahkan, tak ada lagi. Setahuku, pada tahun 1977, Prisma pernah mengupas sosok Soekarno namun bersama tokoh lain seperti H. Agus Salim, Tan Malaka, dan Sutan Sjahrir. Edisi Prisma tersebut kemudian dibukukan dengan judul Manusia dalam Kemelut Sejarah. Aku punya buku itu. Tapi, aku lupa apakah sempat membaca tentang Soekarno atau tidak. Sebab, hingga edisi khusus Prisma 2013 tentang Soekarno terbit, aku sama sekali tidak ingat akan peran-penting Soekarno dalam membangun Indonesia.





Daniel Dhakidae, Pemipim Umum/Pemimpin Redaksi Prisma mengatakan bahwa perlu konsentrasi penuh selama lima hingga enam bulan untuk mempersiapkan edisi khusus tersebut (lihat St Sularto, “Jurnal Prisma: Soekarno, Ende, Pancasila”, dalam Kompas edisi Jumat, 28 Juni 2013). Yang menarik, Daniel juga sempat menulis di Kompas pada Jumat, 31 Mei 2013, tentang edisi khusus Prisma yang sedang dipersiapkannya. Dia mengaitkan Soekarno dengan kelahiran Pancasila. Pada 1 Juni 2013, situs Bung Karno di Ende akan diresmikan secara besar-besaran. Di kawasan itu akan ada patung baru Bung Karno yang sedang merenung di bawah Pohon Sukun.

Aku tertarik memahami kembali Bung Karno—khususnya lewat edisi khususPrisma 2013—karena Daniel menulis lima hal tentang Bung Karno yang baru kutahu saat ini. Seperti kita ketahui bahwa Bung Karno dibuang ke Ende, Flores, pada Februari 1934, ketika usianya baru 33 tahun. Dan kelima hal yang menarikku itu adalah, pertama, Soekarno menjadi seorang bapak keluarga tanpa gangguan kegiatan politik seperti di Bandung. Soekarno menanam sayur mayur, memetiknya untuk dimasak di rumah kontrakannya demi lima anggota keluarganya. Sebagai bapak keluarga, Soekarno juga menjadi seorang Muslim yang taat—shalat lima kali sehari dan setiap Jumat ke masjid.

Kedua, Soekarno berhasil menghidupkan kegiatan intelektualnya dan menjadikan dirinya seorang ahli Islam. Di Jawa, keasyik-masyukannya dengan Marxisme menenggelamkan perhatiannya terhadap Islam. Meskipun demikian, ketika usianya 25 tahun, Soekarno sempat menulis sebuah tulisan berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” (1926) yang merupakan manifesto politik Soekarno muda yang brilian. Di Jawa, Soekarno melihat Islam dari luar. Di Ende, Soekarno banyak menulis dan melihat Islam dari dalam.

Ketiga, Soekarno dijauhi golongan atas di Ende dan ditakuti golongan bawah karena propaganda kolonial: dia dianggap komunis. Dia pun lantas membentuk masyarakatnya sendiri dan mempersetankan “orang pintar yang tolol”. Dia mendirikan “Kelimoetoe Toneel Club” dengan dukungan tukang jahit, sopir, nelayan; beranggaran dasar dan Soekarno sendiri direkturnya. Dia menulis dan mementaskan 13 drama dalam tempo empat tahun!

Keempat, perlahan Soekarno mengalihkan diri menjadi cendekiawan sejati dengan keluar melangkah ke suatu kelompok berbeda (dengan para pastor/misionaris). Diskusi dalam bahasa Belanda secara rutin dijalankan dengan mereka di Ende, yang rata-rata seumur dengan Soekarno, 35-40 tahun. Dalam diskusi dipelajari agama mondial dengan dukungan buku di perpustakaan pribadi para pastor itu.

Kelima, berbekal hasil diskusi itulah, renungan di bawah pohon sukun yang begitu membuai Soekarno menjadi puncak dari semua yang diperoleh di Ende, yaitu menggali dan merenung tentang Pancasila yang dilukiskan oleh Soekarno dengan begitu puitik.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar